Setiap
ada gempabumi besar, biasanya akan diikuti oleh perubahan permukaan
tanah yang dalam bahasa ilmiah sering disebutkan dengan istilah Ground Deformation.Ground Deformation atau dalam bahasa kita disebut sebagai deformasi tanah berupa naik (up-lift) atau turun (down-lift) permukaan tanah. Kejadian tersebut dewasa ini sudah bisa diamati dengan teknologi GPS Geodetik
yang memiliki akurasi dan presisi yang sangat tinggi. Namun untuk
mengamati deformasi yang menjadi indikasi kejadian gempabumi pada zaman
dahulu kala bisa menjadi tantangan tersendiri bagi ilmuan
kebumian. Tantangan ini harus dijawab karena dengan mengetahui gempa
masa lalu mudah-mudahan kita bisa menduga-duga kapan lagi gempa itu akan
terjadi atau perulangan gempabumi (earthquake circle).
Mikroatoll Sebagai Paleogeodetik
Seorang Ilmuan yang bernama D. R. Stoddart dan T. P. Scoffin pernah memublikasikan sebuah artikel yang berjudul “Microatolls: Review of Form, Origin and Terminology” pada Atoll Research Bulletin No. 224 Tahun
1979. Dalam artikel tersebut dikatakan bahwa terumbu karang microatolls
pertama sekali didefinisikan oleh Darwin (1842), Dana (1872 dan 1875),
Semper (1880 dan 1889) dan Gruppy (1886) yang berarti kepala koral atau
blok koral yang tumbuh sampai batas terendah muka air laut. Mikroatoll
pada awal pertumbuhannya akan terus tumbuh sampai mencapai permukaan air
dan selanjutnya akan tumbuh ke samping. Keadaan laut yang landai dan
tenang serta terdiri dari banyak terumbu karang lainnya merupakan tempat
yang ideal untuk terbentuknya sebuah terumbu karang mikroatol.

Gambar
1. Gambar mikroatoll bentuk topi dan mangkok serta perubahannya akibat
muka air laut yang dimodifikasi dari Scoffin and Stoddart tahun 1978
(sumber: Zachariasen, 2000)
Terumbu karang microatoll sangat cocok
digunakan untuk mengamati perubahan muka air laut karena mencairnya es
di kutub, namun demikian perlu menjadi cacatan bersama bahwa
terbentuknya terumbu karang microatolls yang bertingkat tidak hanya
dipengaruhi oleh mencair dan membekunya es di kutub tetapi juga
dipengaruhi oleh up-lift dan down-lift permukaan tanah
pada proses sebelum dan sesudah gempbumi terjadi. Terlebih lagi untuk
gempa-gempa di kawasan zona subduksi. Apabila di suatu kawasan terus
tejadi penurunan permukaan tanah maka akan terbentuk terumbu karang
mikroatoll “mangkok” atau “cup” dan apabila terjadi kenaikan permukaan
tanah maka akan terbentuk microatolls “topi” atau “hat” seperti pada
gambar 1 di atas.
Bentuk mikroatoll yang
bertingkat-tingkat bisa menjadi alat pengukur kenaikan permukaan tanah
yang terjadi pada zaman purba atau dalam istilah ilmiahnya disebut
sebagai paleogeodetik. Adanya perubahan bentuk terumbu karang mikroatol
dari “topi” ke “mangkok” kemudian ke “topi” lagi bisa menunjukkan bahwa
kawasan tersebut pernah terjadi gempabumi yang menyebabkan deformasi
permukaan tanahnya. Kapan gempabumi pernah terjadi bisa diperkiraan
dari Annual ring(cincin tahun) yang ada di terumbu karang tersebut. Annual ring ini terbentuk karena perbedaan densitas terumbu karang yang disebabkan perbedaan musim (kemarau dan penghujan).
Mentawai Yang Kian Turun
Semenjak bulan Juli 1994 dan Januari serta Februari 1996, Zachariasen dan Prof. Kerry Sieh bersama
kawan-kawannya sudah mulai melakukan penelitian tentang perubahan
bentuk terumbu karang mikroatoll untuk mengamati fenomena gempabumi yang
terjadi pada masa lalu atau gempa purba di kawasan kepulauan Mentawai. Pada tahun 2000, mereka memublikasinya hasil penelitiannya di Bulletin of Seismology Society of America yang berjudul “Modern Vertical Deformation above the Sumatran Subduction Zone: Paleogeodetic Insights from Coral Microatolls”.
Hasil penelitian mereka menunjukkan
bahwa, dari 7 buah terumbu karang microatolls dimana 5 terumbu diambil
di lokasi pantai busur luar kepulauan Mentawai dan 2 terumbu karang
diambil di pantai utama yang mereka analisa. Mereka menemukan bahwa
Kepulauan Mentawai sedang turun dengan kecepatan 4-10 mm/tahun selama 4 –
5 dekade terakhir. Di beberapa tempat juga dijumpai terumbu mikroatoll
yang tumbuh lebih dari 1 meter. Tingginya terumbu karang mikroatol pada
suatu kawasan mengindikasi bahwa telah terjadi penurunan Mentawai sejak
beberapa dekade terakhir.
Kejadian yang sangat bertolak-belakang
terjadi di pantai barat Sumatra (Sumantra Barat dan Bengkulu) dimana
penurunan tidak terjadi. Penurunan yang hanya terjadi di sekitar pulau
Mentawai bisa jadi mengindikasikan bahwa telah terjadi akumulasi energi
sekian lama dan belum lepas di sekitar pulau Mentawai. Lock yang
terjadi sekitar zona tunjaman (subduksi) telah menyebabkan kepulauan
Mentawai yang berada digugusan depan zona subduksi tertarik ke bawah
karena proses pergerakan lempeng Indo-Australia yang menunjam ke bawah
lempeng Eurasia. Proses kuncian ini sampai saat ini masih terjadi dan
belum terjadi pelepasan energi.
Video Youtube yang dibuat oleh Tectonics Observatory, California Institute of Technology di bawah ini mudah-mudahan bisa mempermudah kita memahami proses kuncian yang menyebabkan turunnya pulau Mentawai.
Semenjak publikasi artikel tersebutlah,
ramai orang mulai sadar akan potensi gempa yang ditunggu-tunggu di
sekitar kawasan Mentawai. Karena energi gempa yang belum lepas ini, maka
kesiapsiagaan warga sekitar pulau Mentawai dan Sumatra bagian barat
wajib ada dan mutlak disiapkan. Namun satu hal yang kita ingat bersama
bahwa sampai saat ini belum ada ilmu yang bisa memprediksi gempa dengan
tepat. Yang mampu ilmuan lakukan adalah memprediksi dimana
kawasan-kawasan yang memiliki tingkat tegangan dan regangan yang
memungkinkan akan terjadinya gempa. Seperti kasus Mentawai, kita tidak
tahu pasti kapan akan terjadi tapi kita meyakini kemungkinan akan
terjadi di masa yang akan datang.